Rabu, 27 November 2019

Asuhan Keperawatan Pasien Asma

ASUHAN KEPERAWATAN TENTANG ASMA

tanggal 28 november 2019
A.   Definisi
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu ( Smeltzer, 2002 : 611).
Istilah asma  berasal dari kata Yunani yang berati terengah-engah dan berarti serangan nafas pendek. 
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan ( The American Thoracic Society ).
Jadi Asma adalah suatu penyakit yang ditandai oleh hipersensitivitas cabang trakeobronkial terhadap berbagai rangasangan yang akan menimbulkan obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan(mengi dan sesak).

B.     Klasifikasi
Asma sering dirincikan sebagai alergik, ideopatik, nonalergi atau gabungan, yaitu :
1.      Asma alergik
2.      Asma Idiopatik atau Nonalergi
3.      Asma Gabungan


C.     Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial.
1.      Faktor predisposisi
a.       Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alerg biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2.      Faktor presipitasi
a.       Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a)      Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
b)      Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
b.      Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c.       Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d.      Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti (http://cahaya-salim.blogspot.com/2011/10/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan_3.html).


Menurut Nanda etiologinya adalah:
1.      Lingkungan
a.       Asap
b.      Asap rokok
2.      Jalan napas
a.       Spasme Inhalasi asap
b.      Perokok pasif
c.       Sekresi yang tertahan
d.      Sekresi di bronkus
3.      Fisiologi
a.       Inhalasi
b.      Penyakit paru obstruksi kronik (Nanda, 2005: 4-5).

D.    Manifestasi

Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi. dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas, seperti rasa berat didada, dan pada asma alergi mungkin disertai pilek atau bersin, Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret. tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulent (Suyono, Slamet. 2002: 23).
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajad hiperaktifitas bronkus.Obstruksi jalan nafas dapat revesible secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala asma antara lain :
a.       Bising mengi ( weezing ) yang terdengar atau tanpa stetoskop
b.      Batuk produktif, sering pada malam hari
c.       Sesak nafas (Arif Mansjoer. 2001:477).


E.     Patofisiologi

Asma adalah obstruksi jalan napas difus reversibel. Obstruksi disebabkan oleh satu atau lebih dari yang berikut ini :
1.      Kontraksi otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas
2.      Pembengkakan membran yang melapisi bronki.
3.      Pengisian bronki dengan mukus yang kental.
Selain itu otot – otot bronkial dan kelenjar mukosa membesar; sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS – A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu reseptor ? dan ?-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor ?-adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor ?-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor ? dan ?-adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cyclic adenosine monophosphate/cAMP). Stimulasi reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cyclic adenosine monophosphate /cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat cyclic adenosine monophosphate/cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan ialah bahwa penyekatan ?-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos. (Smeltzer, S.C., 2002 : 611-612)
G.    Pemeriksaan Penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa adalah :
1.      Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Tetapi respon yang kurang dari 20 % tidak berarti bukan asma. Hal-hal tersebut bisa dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati normal.
2.      Uji provokasi bronkus
Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji provokasi bronkus bermakna jika terjadi penurunan FEV1 sebasar 20 % atau lebih.
3.      Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronkitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot-Leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil, dan Spiral Curshmann yaitu spiral yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang-cabang bronkus, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigatus
4.      Pemeriksaan eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik.
5.      Pemeriksaan Kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Fungsi dari pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
6.      Foto dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotorak, pneumomediastinum, ateleksis, dan lain-lain (Suyono, Slamet. 2002)

H.    Penatalaksanaan

I.       Penatalaksanaan serangan asma akut :
1.      Faktor pencetus sedapat mungkin dihilangkan.
2.      Oksigen nasal atau masker dan terapi cairan parenteral.
3.      Adrenalin 0,1- 0,2 ml larutan : 1 : 1000, subkutan. Bila perlu dapat diulang setiap 20 menit sampai 3 kali.
4.      Dilanjutkan atau disertai salah satu obat tersebut di bawah ini(per oral):
a.       Golongan Beta 2- agonist untuk mengurangi bronkospasme :
=> Efedrin             : 0,5 – 1 mg/kg/dosis, 3 kali/ 24 jam
=> Salbutamol      : 0,1-0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
=> Terbutalin        : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/ 24 jam
Efeknya tachycardia, palpitasi, pusing, kepala, mual, disritmia, tremor, hipertensi dan insomnia, . Intervensi keperawatan jelaskan pada orang tua tentang efek samping obat dan monitor efek samping obat.
b.      Golongan Bronkodilator, untuk dilatasi bronkus, mengurangi bronkospasme dan meningkatkan bersihan jalan nafas.
=> Aminofilin : 4 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
=> Teofilin     : 3 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Pemberian melalui intravena jangan lebih dari 25 mg per menit. Efek samping tachycardia, dysrhytmia, palpitasi, iritasi gastrointistinal,rangsangan sistem saraf pusat;gejala toxic;sering.
c.       Golongan steroid, untuk mengurangi pembengkakan mukosa bronkus. Prednison     : 0,5 – 2 mg/kg/hari, untuk 3 hari (pada serangan hebat)
(http://hariskumpulanaskep.blogspot.com/2011/09/askep-asma-bronchial.html).

J.       Komplikasi

Komplikasi berupa:
a.       Pneumotoraks
b.      Pneumonediatinum
c.       Gagal napas
d.      Bronkitis
e.       Atelektasis (Arif Mansjoer. 2002: 477)

K.    Pengkajian

Menurut Doenges (2000), proses asuhan keperawatan pada klien dengan Asma meliputi:
1.      Pengkajian
a.       Aktivitas/istirahat
Gejala    :Pada klien dengan Asma gejala yang dapat ditimbulkan antara lain keletihan, kelelahan, malaise, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit berafas, ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi tinggi, dispnoe pada saat istirahat atau respon terhadap aktivatas/latihan.
Tanda    :Tanda-tandanya antara lain keletahan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa otot.
b.      Sirkulasi
Gejala    : Gejala yang ditimbulkan antara lain pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda    : Tanda-tandanya antara lain peningkatan TD, peningakatan frekuensi jantung/takikardi berat,disritmia,distensi vena leher,odema dependan,tidak berhubungan dangan penyakit jantung, bunnyi jantung redup (berkaitan dengan peningkatan diameter AP dada), warna kulit/membran mukosa normal/abu-abu(sianosis), kaku tubuh,sianosis perifer,pucat dapat menunjukkan anemia.
c.       Makanan/cairan
Gejala    : mual,muntah,nafsu makan buruk/anoreksia,kemampuan untuk makan menurun karena distress pernafasan, penurunan BB menetap (emfisema), peningkatan BB menunjukan edema(bronkitis).
Tanda    : turgor kulit buruk, adema dependen, berkeringat.


d.      Pernafasan
Gejala  : nafas pendek,dispnoe, dada terasa tertekan,sesak nafas berulang,riwayat pneumonia berulang,terpajan polusi atau debu/asap, faktor keluarga/keturunan.
Tanda  :pernafasan cepat/lambat, penggunaan otot bantu pernafasan, nafas bibir, barrel chest, gerakan diafragma minimal, bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi, crackles atau ronchi, hiperesonan atau pekak pada paru, sianosis bibir dan pada dasar kuku.
e.       Higiene
Gejala  : Penurunan kemampuan beraktivitas,
Tanda  : kebersihan buruk, bau badan.
f.       Keamanan
Gejala :riwayat reaksi alergi / sensitif terhadap zat/faktor lingkungan, adanya infeksi, kemerahan/berkeringat.
g.      Seksualitass
Gejala : Penurunan libido
h.      Interaksi sosial
Gejala   :hubungan ketergantungan , kurang sistem pendukung, penyakit lama/ketidkmampuan membaik.
Tanda :Ketidakmampuan mempertahankan suara, keterbatasan mobilitas fisik, kelainan hubungan dengan anggota keluarga lain (Doenges, Marilynn. 2000:152).

L.     Diagnosa keperawatan

1.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sekret
2.      Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan bernapas
3.      Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2,
4.      Kurang pengetahuan berhubungan dengan regumen pengobatan (Doenges,2003)

M.   Intervensi

1.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sekret.
a.       Tujuan: jalan nafas kembali efektif
b.      Kriteria hasil:
·         dapat mendemontrasikan batuk efektif
·         dapat menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekret
c.       Intervensi
1)      Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, mis; mengi, krekels, ronki.
R: beberapa derajat spasme bronkus terjadi sumbatan di jalan nafas
2)      Kaji/pantau frekuensi pernafasan.
R: takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat di temukan pada penerimaan atau selama stres
3)      Kaji pasien untuk posisi yang nyaman mis : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.
R: peninggian kepal memudahkan untuk bernafas
4)      Dorong/bantu latihan nafas abdomen/bibir
R: memberikan cara kepada pasien untk memgontrol dan mengatasi dispnea
5)      Observasi karakteristik batuk mis : menetap, batuk pendek, basah
R; batuk pendek, basah biasanya sekret ikut keluar bersama batuk
6)      Lakukan tindakan suction
R: untuk mengangkat ssekret dari jalan pernafasan
7)      Koaborasi dengan doter
R: untuk pemberian obat
2.      Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas.
a.       Tujuan: pola nafas pasien menjadi efektif
b.      Kriteria hasil:
·         Dada tidak ada gangguan pengembangan
·         Pernafasan menjadi normal 18-24 x/menit
c.       Intervensi
1)      Monitor frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan
R: dispnea dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman pernafasan bervariasai
2)      Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi
R: dududk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan
3)      Observasi pola batuk dan karakter sekret
R: menegtahui batuk keribg atau basah serta warna dari sekret itu
4)      Berikan pasien latihan nafas dalam atau batuk efektif
R: dapat meningkatkan sekret di mana ada gangguan ventilasi sitambah ketidaknyamana bernafas
5)      Berikan O2 tambahan
R: memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas
6)      Bantu fisioterapi dada
R: memudahkan upaya bernafas dalm dan meningkatkan draenase sekret
3.      Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan retensi CO2,
a.       Tujuan: pertukaran gas menjadi efektif
b.      Kriteria Hasil: Menunjukkan perbaikan vertilasi dan oksigen jaringan adekuat dalam rentang
c.       Intervensi:
1)      Kaji TTV
R: perubahan TD terjadi dengan beratnya hipoksemia dan asidosis
2)      Kaji tingkat kesadaran/ perubahan mental
R: hipoksemia sistemik dapat ditunjukkan pertama kali oleh gelisah dan peka rangsang
3)      Observasi adanya sianosis
R: Menunjukkanhipoksemia sistemik
4)      Tinggikan kepala tempat tidur sesui kebutuhan pasien
R: meningkatkan ekspansi dada serta membuat mudah bernafas
5)      Awasi BGA (blood gas analysis)
R: untuk mengetahui saturasi oksigen dalam darah
6)      Berikan O2 sesui indikasi
R: memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran gas
4.      Kurang pengetahuan berhubungan dengan regumen pengobatan
a.       Tujuan: pasien paham kondisi, tindakan yang akan dilakukan
b.      Kriteria hasil:
·         Penampilan releks saat di lakukan pengobatan
·         Berpartisipasi dalam program pengobatan
c.       Intervensi
1)      Kaji TTV (Vital Signs)
R: untuk mengetahui TTV(Vital Signs) pasien
2)      Jelaskan kepada pasien sebelum melakukan tindakan
R: agar pasien tahu tentang tindakan yang dilakukan perawat kepadanya
3)      Berikan informasi dalam bentuk tertulis maupun verbal
R: kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk menangkap informasi
4)      Tekankan perlunya melanjutkan pengobatan selama periode
R: penghentian dini pengobatan dapat menyebabkan kekambuhan pada asma
5)      Tekankan pentingnya melanjutkan intervensi medi
R: dapat mencegah terjadi komplikasi (Doenges,2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Asuhan Keperawatan Anak Diare

   ASUHAN KEPERWATAN ANAK DIARE  tanggal 28 november 2019   Pengertian Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang bias...